Cerita Prasmul
Sixth Sense Project: Memasarkan Keistimewaan Desa Bengkala Dengan Teknologi

Sixth Sense Project: Memasarkan Keistimewaan Desa Bengkala Dengan Teknologi

Pada Agustus 2019, Universitas Prasetiya Mulya dan National University of Singapore (NUS) mengadakan kolaborasi internasional dalam bidang community development. Melibatkan Ni Putu Sukma, Nicholas Cliff, Putu Ayu Narsih, Paulina, dan Kadek Danayasa dari School of Applied STEM Prasetiya Mulya, proyek ini dilakukan untuk menciptakan inovasi pada dunia pariwisata Desa Bengkala.

Jauh dari hiruk pikuk pusat kota Bali, berdiri Desa Bengkala dengan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh desa lain di Indonesia. Di desa ini, terdapat 42 dari 2116 penduduk yang tidak dapat berbicara dan mendengar sejak lahir, menjadikan Bengkala sebagai kawasan dengan rasio penyandang bisu dan tuli sejak lahir tertinggi di dunia.

Di desa yang akrab disebut Desa Kolok ini, keterbatasan fisik tidak memengaruhi kualitas komunikasi antar-penduduk. Sebanyak 80% penduduk menggunakan bahasa isyarat lokal yang disebut dengan Bahasa Kolok. Bahasa yang diajarkan pada warga sejak sekolah dasar ini lah yang membuat seluruh penduduk bisa hidup berdampingan tanpa diskriminasi.

BENGKALA BUTUH PARIWISATA

Masalah yang dihadapi desa Bengkala tidak muncul dari komunikasi antar-warga, melainkan dari sisi ekonomi. Kekeringan yang kerap melanda seringkali memunculkan berbagai persoalan bagi desa yang perekonomiannya ditunjang oleh aktivitas perkebunan ini. Kekeringan pun berdampak lebih berat bagi penduduk kolok yang memiliki opsi pekerjaan yang terbatas.

Untungnya, Desa Bengkala kaya akan atraksi pariwisata. Contohnya Janger Kolok. Berbeda dengan Tari Janger lain yang ada di Bali, Janger Kolok hanya dibawakan oleh penduduk kolok yang tidak bisa mendengar alunan musik pengiringnya. Uniknya, alih-alih penari yang mengikuti melodi, para pemusik lah yang harus menyesuaikan diri dengan gerakan para penari.

Sukma (ketua kelompok) berinteraksi dengan penduduk setempat menggunakan Bahasa Kolok

Kehidupan sehari-hari penduduk juga merupakan atraksi wisata tersendiri. Jika berkunjung ke desa ini, pengunjung dapat merasakan pengalaman menjadi warga lokal. Lebih dari itu, mereka juga dapat menginap di rumah warga. “Sebari nginep, kami juga belajar dan menggunakan bahasa kolok, ikut kegiatan keagamaan, produksi dupa dan jamu kunyit, masih banyak lagi,” ungkap Sukma.

Fakta ini lah yang mendasari Prasmul dan NUS untuk mencoba menggerakkan roda perekonomian desa melalui aktivitas pariwisata. Kedua universitas menyadari bahwa pariwisata akan memunculkan multiplier effect yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bagi penduduk umum dan kolok.

PARIWISATA BUTUH PASARNYA

Multiplier effect yang diharapkan dari aktivitas pariwisata tidak akan muncul tanpa adanya pengunjung. Untuk alasan itu, dibentuk Sixth Sense Project yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk membantu pemasaran pariwisata Desa Bengkala, sekaligus mempersiapkan penduduk untuk menjadi host yang baik bagi para tamu. 

Transfer ilmu mengenai cara kerja website desa

Berkat Sixth Sense Project, Desa Bengkala akhirnya memiliki situs yang beralamat di https://bengkala.social/. Sukma menjelaskan, “Melalui website ini, calon pengunjung dapat mengeksplorasi kisah dan atraksi yang dimiliki desa, sekaligus melakukan reservasi penginapan dan transportasi selama di Bengkala.”

Tak berhenti sampai disitu, penduduk juga diajari berbagai keterampilan. Misalnya, cara memasarkan produk dan jasa melalui media sosial, membuat presentasi menggunakan Microsoft Powerpoint, serta menghitung pemasukan dan pengeluaran menggunakan Microsoft Excel. Selain itu, mahasiswa juga mengajarkan dasar-dasar hospitality dan Bahasa Inggris untuk menyambut turis. 

Mahasiswa NUS mendapat pengalaman baru dalam mengikuti prosesi keagamaan Hindu

Meski terkesan sederhana, setiap pengetahuan yang dibagikan pada Sixth Sense Project ini ada untuk membantu warga Desa Bengkala. Harapannya, dampak positif proyek ini tidak hanya terasa selama 10 hari pelaksanaan community development, namun terus berlanjut hingga kemudian hari.

Witha Shofani

Add comment

Translate »