Cerita Prasmul
Cara Bijak Agar Tidak Terjebak Tren – Sebuah tips bisnis oleh Dosen Universitas Prasetiya Mulya

Cara Bijak Agar Tidak Terjebak Tren – Sebuah tips bisnis oleh Dosen Universitas Prasetiya Mulya

 Cari Bijak Agar Tidak Terjebak Tren

m setiawan kusmulyono

 M. SETIAWAN KUSMULYONO

Dosen S1 Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya 

Tren merupakan istilah yang keren. Sedikit-sedikit sering disebut oleh berbagai macam orang, mulai dari menteri, pengusaha baju, desainer, maupun masyarakat umum. Mulai dari tren batu akik yang meredup, tren mobil warna putih, hingga tren potongan rambut atau gaya berpakaian. Semuanya menjadi sahabat sang tren.

Tren ini kadang memberi harapan, kadang pula mengundang kekhawatiran. Bagi analis saham dan pemain usaha di dunia keuangan, tren adalah konsumsi sehari-hari. Lihat grafik, dianalisis, disimpulkan, lalu ambil keputusan. Ada pergerakan sedikit, dapat membuat kehebohan penjuru bursa.

Lalu, bagi mahasiswa yang ingin menjadi pengusaha, bagaimana cara kita bersikap terhadap tren? Menjadikannya sahabat, atau melawannya? Cukup menantang sepertinya.

Secara sederhana, tren dapat kita asosiasikan sebagai ombak di laut. Kalau sebagai ombak di laut, apakah kita bisa menahannya? Pastinya tidak. Seberapa besar daya kita untuk menahannya, pasti akan terhempas juga. Namun, apakah kita harus menahannya? Mengapa kita tidak mengarunginya? Seorang tokoh pernah berkata, bahwa ombak itu bukan untuk dihadapi, tetapi untuk diarungi.

Jika ombak saja diarungi, bagaimana dengan tren yang terjadi? Menurut sudut pandang ilmu berperilaku, terdapat sebuah konsep pemikiran yang sering menjebak masyarakat pada umumnya. Konsep tersebut sering dimaknai sebagai archetype (pola perilaku). Tren sendiri merupakan bagian dari salah satu pola itu, yaitu tragedy of the commons.

Tragedy of the commons mengandung arti bahwa ketika belum ada hal yang menarik tentang sebuah sumber daya (ini dapat berupa sumber daya alam, fenomena, barang, produk, dll), orang-orang yang menikmatinya masih sedikit dan mereka dapat memperoleh kepuasan maksimal atas sumber daya tersebut. Namun, kemudian ketika orang-orang lain mulai banyak tahu, sumber daya yang sifatnya terbatas ini pun menjadi terekspos. Akibatnya, kepuasan maksimal orang-orang sebelumnya menjadi menurun, termasuk juga orang-orang yang baru.

Misalkan saja, dahulu, jalan tol JORR itu masih lengang. Sebagian orang menikmati kantor yang terhubung dengan JORR. Namun, makin lama kini makin banyak orang yang menggunakan Tol JORR karena dianggap sepi. Akibatnya, macet sudah menjadi hal yang tidak terelakkan. Hal ini dapat terjadi pada situasi apapun.

Pada suatu titik, sumber daya yang tereksploitasi tersebut lama-lama mulai ditinggalkan karena merasa kepuasan yang diberikan tidak maksimal. Orang-orang kemudian memilih jalan biasa daripada jalan tol. Akibatnya, jalan tol lengang kembali dan kepuasan yang diraih kembali maksimal. Namun, ketika merasa jalan tol lengang lagi, orang-orang tersebut kembali lagi dan seterusnya, seterusnya, hingga seterusnya.

Konsep tersebut mirip dengan konsep tren. Kalau kita sebagai calon pengusaha selalu mencoba mengikuti tren, kita selamanya hanya akan menjadi pengikut dan hanya menerima limpahan keuntungan yang terbatas. Maka, sebagai mahasiswa Prasmul yang siap sedia, harus mampu bijak agar tidak terjebak tren.

Caranya dapat dilaksanakan dalam dua hal, yaitu membuat tren sendiri, serta mengelola tren yang ada. Membuat tren sendiri tentu butuh kerja keras untuk memprediksi kebutuhan masa depan. Namun, tentunya ada first-mover profit yang dapat diperoleh untuk keuntungannya. Cara kedua, tentunya dengan memodifikasi tren yang ada, sehingga kita tetap mengikuti tren itu, tetapi dengan nilai inovasi yang baru, seperti halnya seorang peselancar dengan gaya-gaya kerennya untuk menaklukkan ombak.

Selamat berselancar dan mengarungi tren ke depan. Bravo Prasmulyan.

Add comment

Translate »