Cerita Prasmul
FACULTY MEMBER ARTICLE

FACULTY MEMBER ARTICLE

Berikut kumpulan artikel oleh Dosen Universitas Prasetiya Mulya di media 

Januari 2017

Judul: Sebaik-Baiknya Pemimpin
Warta Ekonomi
Oleh Ade Febransyah Ph.D, Advisors, Operations & Decisions – Universitas Prasetiya Mulya

Judul: Membangun Fanatisme Pelanggan
Sindonews.com – Minggu,  8 Januari 2017  âˆ’  15:07 WIB
Oleh Lukas Setia Atmaja, Financial Experts – Universitas Prasetiya Mulya 

Customer is king. Setuju? Saya sajikan sebuah artikel saya tentang pentingnya membangun fanatisme pelanggan. Artikel ini saya sarikan dari buku 50 Business Essential Ways to Win the Competition terbitan Prasetiya Mulya Publishing (2014).

Fanatisme penggemar dengan mudah ditemukan di dunia olahraga atau musik. Ada puluhan juta “Mancunian“, sebutan untuk penggemar berat Manchester United, di seantero jagat. Kita mengenal “Belieber“, komunitas pencinta dan supporter Justin Bieber.

Di Tanah Air kita masih bisa menemukan banyak penggemar fanatik kelompok band jadul seperti Koes Plus. Mereka dengan sukarela memosisikan diri sebagai pendukung setia. Namun, tidak mudah untuk menemukan fanatisme seperti ini di dunia bisnis.

Fanatisme adalah bentuk ekstrem dari kesetiaan terhadap sebuah produk atau merek (brand loyalty). Jika perusahaan kita memiliki produk yang nilainya lebih baik dari kompetitor, kita belum memiliki pelanggan setia, tetapi pelanggan yang cerdas. Pelanggan yang setia adalah mereka yang sadar bahwa sangat mungkin ada yang lebih baik di luar sana, tetapi mereka tidak peduli.

Mirip dengan kesetiaan seorang suami pada istrinya, seorang karyawan pada perusahaannya, seorang pemuja pada bintang pujaannya, dan seorang penggemar pada sebuah klub olahraga. Semua didasari dengan cinta mendalam yang tak mudah luntur oleh perubahan zaman. Apple Inc adalah contoh terbaik saat ini. Pelanggan fanatiknya sampai rela tidur di depan toko untuk memperoleh produk terbaru Apple.

Apa pun yang diciptakan Steve Jobs, mereka beli tanpa pikir panjang. Ketika Steve Jobs berpulang, mereka menangisinya seperti kehilangan seorang anggota keluarga atau kekasih. Kesetiaan pelanggan terhadap merek, apalagi fanatisme, adalah impian para pelaku bisnis. Di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat, pelanggan setia menjadi fondasi kokoh sebuah perusahaan.

Ingat Pareto Principle atau “80-20 rule“ dari Joseph Juran yang mengatakan bahwa 80% akibat datang dari 20% penyebab. Di dunia bisnis, 80% penjualan bisa jadi datang dari 20% pelanggan. Adalah tugas utama manajemen perusahaan untuk mengubah sebanyak mungkin dari pelanggan berdampak besar ini menjadi setia, bahkan fanatik. Bagaimana cara menciptakan fanatisme pelanggan? Oliver (1999) berargumen bahwa kesetiaan dan fanatisme berawal dari kepuasan pelanggan.

Serpihan empiris menunjukkan bahwa produk atau merek yang memiliki pelanggan setia adalah yang menawarkan rasa nikmat dan senang yang lebih besar (experiences of gratification) maupun kecocokan yang sempurna (experiences of perfect fit). Mayoritas penggemar Manchester United mengatakan bahwa mereka menyukai klub ini karena permainannya yang indah dan menyerang.

Menurut Psychological Continuum Model dari Funk dan James (2001), ada empat langkah menuju kondisi kesetiaan tingkat tinggi, yakni kesadaran (awareness), ketertarikan (attraction), ikatan emosional (attachment), serta komitmen, cinta, dan kesetiaan (allegiance). Kita pakai contoh Apple Inc. Kesadaran dan ketertarikan akan produk atau merek Apple muncul dari beberapa faktor seperti toko yang khusus menjual produk Apple.

Di toko ini para calon pelanggan bisa melihat, mencoba, dan bertanya tentang produk Apple. Apple juga menjual produknya di sekolah dan universitas di Amerika Serikat. Jika beberapa murid atau mahasiswa menggunakan produk Apple, mereka secara tidak langsung menjadi pramuniaga Apple yang memperkenalkan produk tersebut.
Manajemen Apple dengan cerdik membocorkan beberapa informasi mengenai produk baru yang akan diluncurkan agar menjadi perbincangan hangat. Ikatan emosional yang kuat terhadap Apple muncul saat konsumen mulai merasakan kenikmatan dari menggunakan produk Apple. Hasilnya adalah tingkat kepuasan konsumen yang tinggi.

Tak heran karena Apple secara cermat mempertimbangkan apa yang dibutuhkan oleh pelanggan. Ipod dan Ipad adalah contohnya. Produk Apple adalah hasil dari riset yang ekstensif dan disain yang kuat. Produk yang kuat dan mudah digunakan membuat pelanggan gembira dan membuat mereka membeli lagi produk Apple pada masa mendatang.

Inovasi menjadi kunci utama keberhasilan Apple dalam membuat pelanggan menjadi fanatik. Perusahaan secara konsisten menawarkan portofolio produk yang inovatif untuk membuat pelanggan tidak akan melirik produk lain. Tanpa sadar mereka telah kecanduan produk Apple, memberikan komitmen, cinta, dan kesetiaan kepada Apple.

Tidak banyak perusahaan yang seberuntung Apple. Namun, walau butuh usaha besar dan waktu lama, bukan hal mustahil untuk menciptakan fanatisme pelanggan. Yang diperlukan adalah kesadaran akan pentingnya membangun kesetiaan atau fanatisme pelanggan. Mayoritas perusahaan terjebak rutinitas dan program pemasaran lebih fokus untuk mencari pelanggan baru.

Mereka lupa bahwa pelanggan lama adalah raja yang harus selalu dimanjakan dengan cara dan produk baru yang inovatif. Tanpa fanatisme, pelanggan akan mudah selingkuh dengan produk pesaing. Maka, perlakukan mereka seperti seorang suami, istri, atau kekasih. Berikan yang terbaik buat mereka, mereka akan membalas dengan cinta.

Oktober 2016

dimaskanjeng lukas 1

dimaskanjeng lukas 2

dimaskanjeng lukas 3

dimaskanjeng luaks 4

dimaskanjeng lukas 5

Harian Neraca & www.neraca.co.id

Ambara

Artikel oleh : Ambara Purusottama

Dosen S1 Sekolah Bisnis & Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya

AMBARA 5 OKTOBER

AMBARA 5 2]

September 2016 

Artikel dari Okezone Finance (Okezone.com) , Minggu 25 September 2016 

Artikel oleh : Lukas Setia Atmaja, Faculty Member Prasetiya Mulya

lukas okezone sept 1

lukas okezone sept 2

lukas okezone sept 3

lukas okezone sept 4

lukas okezone sept 5

membasmi lukas

membasmi lukas 2

membasmi lukas 3

membasmi lukas 4

membasmi lukas 5

membasmi lukas 6

artikel agus w soehadi

artikel agus 2

artikel agus 3

 

The Economic Benefit of Palm Oil IndustryWaste to Energy in Palm Oil Industry

bayu prabowo

Bayu Prabowo*, Sitti Nur Asnin, Lina Jaya Diguna

Dosen Energy Engineering Universitas Prasetiya Mulya

Department of Renewable Energy Engineering, Universitas Prasetiya Mulya, Indonesia

*Corresponding Author: bayu.prabowo@prasetiyamulya.ac.id

The Economic Benefit of Palm Oil Industry

Palm oil is a nutritious fatty acid containing vegetable oil that is suitable for many different applications. The derivative products include cooking oil, margarine, soap, surfactant pharmaceutical and even biodiesel. Due to the wide application and favorable production rate, Palm oil become the most extensively traded edible oil in the global fats and oil market by the mid-2000s [1]. Palm Oil industry also becomes one of the prominent global agricultural industries.

The world consumption of palm oil has massively improved during the past decade. The production of crude palm oil reached 62.34 million tons in 2014 and it is expected to increase to 78 million tons by 2020, [2]. Furthermore, the demand of world palm oil is projected to remain increase following the growth of population, food demand, and chemical industries.

Palm oil production is centered upon tropical regions, especially Southeast Asia. This is related to the suitability of palm tree growing conditions with Southeast Asian climate, viz. yearly rainfall of 1600—2000 mm and daily sunlight of 5—7 h [3]. Owing to this fact, Palm Oil has been a specific trading commodity for two Southeast Asian countries, namely Indonesia (30.5 million tons) and Malaysia (19.9 million tons). Palm Oil suppliedby these two countries is contributed for more than 85% of global Palm Oil demand in 2014 [2].

For Indonesia, Palm oil has been a very important commodity. It is the second-top contributor to their total exports after coal. It contributed around US$19.22 billion, or 10.53 percent, to the country’s total exports of $182.57 billion in 2013 [4]. It is estimated that over than 6 million workersare employed in the palm oil industry in Indonesia [1].

 

Waste Problem from Palm Oil Industry and Its Potential Added Value

Alongside with its enormous economic value for the countries, palm oil industry is also poses some potential environmental problems. One of the major problem is related to the vast amount of waste generated during the processing of fresh fruit bunch to palm oil. Thus, in consort with the increase of palm oil production, many palm oil farmers and producers are facing the problems associated with the increasing waste streams such as insufficient dumping spaces, bad odor and hazardous methane gas from the decomposition processes [5]. Palm oil industry is an undeniable birthplace of pollution in the palm oil processing country.

kelapa sawit 1Fig.1 Palm Oil Mill Effluent (POME)

There are two main source of waste stream in Palm Oil production. First, Palm Oil production requires high amount of steam in the extraction process that would be subsequently discharged as wastewater or palm oil mill effluent (POME). Second, purified palm oil represents only approximately 20wt.% of the harvested material [6]. Consequently, Palm Oil mill plant generates large amount of solids wastes such as empty fruit bunch (EFB) (23%), fiber (12%) and shell (5%) for every ton of fresh fruit bunches processed in the mills [7]. Beside of their disposal problem, some energy potentials are stored in the wastes associated with their organic content. Therefore, the appropriate treatment and management of Palm Oil production waste streams is not only creating an environmentally-sound disposal method but also generating some economical added values.

POME is wastewater generated from the sequence of sterilization, clarification and hydro-cyclone in palm oil extraction process. It is produced voluminously at the quantity of around 0.87 m3 or 3.7 ton for every ton of palm oil product [7]. Fig. 1 shows the waste POME collection in treatment pond.  POME is a thick brownish liquid with unfriendly odor.

 

Oil palm mill plant also generates large amount of solids wastes in the form of empty fruit bunch (EFB). Fig. 2 shows the pile of EFB waste in Palm Oil mill plant. Approximately 1.1 ton of EFB is generated for every ton of crude palm oil (CPO) produced [5]. EFB is a lignocellulose residual which remains from the extraction of oil palm fruits at the mills.

kelapa sawit 2

With its considerable dry base Calorific Value (HHV) and its high generation rate, the large potential stored in the utilization of EFB for energy. For the case of Indonesia, 138.3 million GJ/year energy potential is calculated to be contained in EFB waste in 2012 [5]. However, with the as-received moisture content of around 60%, EFB is low in commercial value.

Prospectus Research Target and Benefit

Based on the abovementioned conditions, it can be concluded that an innovative treatment method is required not only to manage the abundant waste streams of POME and EFB in an environmental friendly manner but also to optimize their energy potentials.By applying waste-to-energy conversion technology, the discharged waste stream from Palm Oil production will be greatly reduced and energy efficiencies of the processing plantwill be significantly enhanced. These features will make Palm Oil industry more environmental friendly and economically efficient. Furthermore, a single treatment step would simplify the technical and economical requirements for the handling of both residues.

____________________________________________________________________

AGUSTUS 2016

Kumpulan artikel bisnis oleh Lukas Setia Atmaja ( Dosen Universitas Prasetiya Mulya) di Koran Sindo :

Senin 15 Agustus 2016: Saham Seumur Hidup

http://ekbis.sindonews.com/read/1131121/39/saham-seumur-hidup-1471161362

Senin, 1 Agustus 2016 : Vitamin A Saham

http://ekbis.sindonews.com/read/1127762/39/vitamin-a-saham-1470013744

____________________________________________________________

Artikel Koran Sindo , 29 Agustus 2016

oleh : Lukas Setia Atmaja

Dosen Universitas Prasetiya Mulya

Family Control : Madu atau Racun?

Lukas setia atmaja

lukas setia 2

lukas setia 3

lukas setia 4

lukas setia 5

 

 

_____________________________________________________________

Bipolaritas Bisnis : Dr. Jekyll atau Mr. Hyde?

Artikel Bisnis oleh Ade Febryansah

Dosen Universitas Prasetiya Mulya

Ade Febriyansah Jeckyl or Mr hyde

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 21 2016

WE Online, Jakarta – Adakah bisnis yang berhati mulia? Sulit ditemukan. Less for more menjadi roh dalam berbisnis. Atas nama produktivitas dan efisiensi, mereka mengeksploitasi sumber daya untuk profit yang maksimal. Profit bagus buat keberlangsungan perusahaan. Suatu kenaifan jika dikatakan profit bukanlah yang utama.

Kita semua pantas berterima kasih kepada pelaku bisnis. Kehadirannya sungguh membantu kita dalam berkehidupan. Silakan bertanya, adakah yang ditawarkan oleh mereka yang tidak membantu kemudahan dalam keseharian kita?

Ingin bepergian, ada kendaraan bermotor. Ingin menikmati hiburan, silakan menikmati kotak ajaib, televisi, tablet, atau smartphone. Ingin produktif, silakan bekerja di depan komputer. Ingin memiliki daya tahan tubuh yang tinggi, begitu banyak suplemen untuk dikonsumsi. Ingin berinteraksi sosial, kunjungi saja kafe-kafe. Sebut saja, kita mau apa, pelaku bisnis menyediakannya. Kita punya problem, mereka menawarkan solusi.

Inilah kebaikan mereka buat kita masyarakat pengguna. Akan tetapi, sungguhkah mereka begitu baik buat kita?

Perspektif Berkeputusan

Seperti sudah ditakdirkan bahwa menjadi pelaku bisnis harus bermain di dunia. Mantan evangelis Apple, Guy Kawasaki, bahkan pernah berucap tentang kehebatan bekas perusahaannya “Mencipta layaknya dewa, bekerja layaknya budak”.

Tidak ada yang menyangkal kehebatan Apple dalam menghadirkan desain produk yang stylish. Namun, tidak pernah ada yang peduli bagaimana “kejamnya” Apple dalam mengefisienkan seluruh jejaring pasokannya. Keindahan produk Apple sungguh menggembirakan para penggemar setianya. Di belakang layar, para pemasok berada di kursi panas dalam orkestrasi penuh presisi dari Apple. Inventori berlebih, keterlambatan pasokan, dan kegagalan produk harus dieliminasi. Tidak ada kompromi untuk hasil medioker.

Itulah gambaran tipikal dari setiap perusahaan kelas dunia dan kebanyakan lainnya. Kebaikan untuk pelanggan, tetapi “kekejaman” untuk mitra-mitra kerjanya. Kepuasan pelanggan harus dibayar pada proses penuh presisi mengejar efisiensi. Inilah hukum besi dalam berbisnis. Ingin hebat harus berkeringat. Sah saja untuk urusan ini.

Namun, dalam praktiknya, sebagian pelaku bisnis seperti menghalalkan segala cara  untuk menjadi baik di depan pelanggannya. Mengeruk isi bumi segila-gilanya, membakar hutan sudah menjadi adiksi demi profitabilitas. Risiko bencana buat lingkungan dan masyarakat tidak lagi menggetarkan jiwa pelakunya. Menekan mitra-mitra bisnis di seluruh dunia adalah hal lumrah. Membeli dengan harga murah, menjual dengan harga setinggi-tingginya untuk mengamankan profit yang tinggi. Bisnis ya tetap bisnis; dijalankan untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Pengguna puas, pekerja lemas menjadi keniscayaan. Mengadopsi novel fiksi klasik, pelaku bisnis memiliki kepribadian, yaitu Dr. Jekyll yang baik kepada pelanggan dan Mr. Hyde yang jahat kepada pekerja dan mitra-mitra perusahaan bahkan kepada masyarakat luas dan lingkungan.

Perilaku pelaku bisnis yang berstandar ganda ini dapat dijelaskan oleh hierarki keputusan di bawah ini. Apa pun perusahaannya, pengamanan dan pertumbuhan profit menjadi kondisi yang diinginkan setiap perusahaan. Untuk mencapai profit yang diinginkan, perusahaan dihadapkan pada sekumpulan problem yang dapat merintangi pencapaian profit. Problem utama perusahaan dapat dikategorikan dua saja, yaitu problem dalam urusan discovery dan delivery (Dyer dkk., 2011). Discovery berkaitan dengan kemampuan perusahaan dalam menemukan apa lagi yang berikutnya (what’s next). Perusahaan yang lembam dalam urusan discovery ini akan sulit mempertahankan profitabilitasnya, diasumsikan tingkat persaingan bisnis begitu tinggi. Sementara itu, delivery menjelaskan kemampuan perusahaan dalam menjalankan proses bisnisnya untuk dapat memuaskan pelanggannya.

Menyadari kemampuannya dalam discovery dan delivery, perusahaan akan mencoba mengoptimalkan benefit, cost, opportunity, dan risk (BCOR). Misalnya, ketika perusahaan tertinggal dalam urusandiscovery, maka yang bersangkutan akan mencoba memaksimalkan kemampuan dalam delivery. Benefitdan cost dalam jangka pendek akan dimaksimalkan. Perusahaan yang lemah dalam discovery, tidak terlalu perhatian dengan benefit yang bisa diperoleh dalam jangka panjang maupun risiko yang bisa timbul di kemudian hari. Berbeda halnya dengan perusahaan inovatif. Discovery menjadi keharusan. Tingkat kepentingannya tidak kalah dengan urusan delivery. Perusahaan inovatif selalu berorientasi jangka panjang mengingat proses panjang dalam berinovasi. Maka, opportunity di kemudian hari harus diidentifikasi sekarang ini untuk direalisasikan meski dengan cost yang tidak murah. Penginovasi yang berpandangan jauh ke depan juga memikirkan segala kemungkinan risiko yang mungkin terjadi dari inovasinya.

Selanjutnya, berdasarkan kriteria BCOR tersebut, perusahaan akan menentukan pendekatan yang paling efektif dalam memaksimalkan benefit dan opportunity, serta meminimalkan cost dan risk. Berkaitan dengan meminimalkan biaya, misalnya, perusahaan akan tetap menjadi pelaku yang konsisten “baik” (Dr. Jekyll) atau malah tergoda melakukan tindakan “tidak terpuji” (Mr. Hyde) yang justru mendatangkan konsekuensi negatif atau risiko yang begitu mahal bagi perusahaan, masyarakat, dan lingkungan.

Pertentangan Abadi

Menjadi pelaku bisnis yang baik adalah idaman perusahaan apa pun. Sudah banyak bentuk penghargaan diberikan  untuk perusahaan berprestasi, dalam kebaikan tentunya. Tidak ada perusahaan yang menolak penghargaan tersebut untuk mereka. Namun, coba bayangkan jika ada pemberian award untuk perusahaan paling tidak manusiawi, paling merusak alam, paling hitam, dan sebagainya. Akankah ada perusahaan yang mau dan bangga menerimanya? Hampir dipastikan tidak ada.

Menyadari pelaku bisnis adalah pemaksimisasi nilai, pertentangan antara menjadi konsisten baik atau sekali-sekali jahat akan selalu ada. Ingin menjadi hijau, tetapi tetap membakar hutan. Ingin menyejahterakan rakyat, tetapi malah menyengsarakan. Ingin menjadi hebat, tetapi tetap bermuslihat. Ingin menjadi penginovasi sosial, tetapi sesungguhnya tetap kapitalis, menjadikan rakyat sebagai faktor produksi yang mau dibayar murah. Ingin berwajah ramah, tetapi tetap berperilaku kejam buat mitra-mitranya.

Menjadi Dr. Jekyll sejati di kalangan pebisnis mungkin seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Bagi perusahaan yang konsisten dalam kebaikan, maksimisasi benefit dan opportunity atau minimisasi cost danrisk bukanlah tanpa batas. Tidak perlu berlebihan. Berkecukupanlah!

_______________________________________________________________________

Pemulihan Kepercayaan Konsumen

artiel donil di kontan

Artikel oleh  Donil Beywiyarno

Dosen S1 Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

Diterbitkan di Harian Bisnis Kontan pada hari Senin tanggal 25 Juli 2016

Panas sedang diulas mengenai vaksin palsu yang beredar di 37 pusat kesehatan, termasuk 14 Rumah Sakit, di Jakarta dan Bekasi. Setelah diumumkannya nama-nama klinik serta Rumah Sakit (RS), banyak orang tua korban yang marah besar akan peristiwa ini. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah. Namun, tetap saja masyarakat belum sepenuhnya puas.

Dibandingkan dengan produk manufaktur seperti Handphone yang dapat dilihat dan diraba untuk menilai kualitasnya, seringkali konsumen awam mengalami kesulitan untuk menaksir kualitas untuk layanan kesehatan. Mereka cenderung menggunakanrule of thumb atau jalan pintas untuk menilai kualitas layanan melalui tampilan fisik  seperti kerapihan dan kebersihan RS, tampilan dan kesopanan tenaga kesehatan, dan sebagainya. Selain itu, mereka menilainya berdasarkan cerita-cerita pasien RS tersebut sebelumnya. Berdasarkan penilaian mereka, selama ini pasien sebagai konsumen telah menaruh kepercayaan penuh atas kualitas layanan pusat kesehatan yang digunakan.

Kasus ini merupakan contoh ekstrem dari service failure yang terjadi di bidang layanan dimana adanya kegagalan dari penyampaian layanan atau layanan yang diterima tidak memenuhi harapan konsumen (Hoffman & Bateson 2008). Harapan utama konsumen adalah mendapatkan perlindungan terhadap penyakit berbahaya melalui vaksin. Sialnya, dikarenakan konsumen sulit menilai keaslian vaksin maka mereka menganggap bahwa selama anak mereka belum terkena penyakit tersebut maka kualitas layanan vaksin sudah sesuai dengan harapan mereka.

Kasus ini dapat digolongkan sebagai kasus ekstrem dikarenakan kepercayaan konsumen telah dikhianati. Apabila tidak ditangani dengan baik, maka dapat bereskalasi kepada meluasnya ketidakpercayaan konsumen secara nasional terhadap layanan kesehatan kita. Di era internet dan media sosial seperti saat ini, word-of-mouth negatif menyebar dengan cepat diantara konsumen.

Dibutuhkan Service Recovery yang menyeluruh

Upaya penanganan terhadap service failure adalah service recovery (Bruhn & Georgi 2006). Saat ini, seluruh mata konsumen menyaksikan bagaimana service recoverysedang berjalan di pusat kesehatan yang bermasalah. Sayangnya, upaya service recovery berjalan tertatih-tatih dan minim koordinasi. Layak diapresiasi langkah pemerintah untuk melaksanakan vaksin ulang kepada korban. Berita terbaru, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat mendesak didirikannya posko Crisis Center.

Ide besarnya adalah adanya posko Crisis Center  di setiap pusat kesehatan yang bermasalah. Posko ini secara nasional dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan bertanggungjawab untuk menangani keluhan masyarakat serta menyediakan informasi yang menyeluruh. Cukup logis mengingat bahwa service failure ini menimpa beberapa pusat kesehatan sekaligus yang mengindikasikan begitu rumitnya masalah vaksin palsu ini. Begitu rumitnya kasus ini sehingga melibatkan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kepolisian, Ikatan Doker Indonesia, dan pihak lainnya.

Perlu digarisbawahi bahwa kasus peredaran vaksin palsu disinyalir telah berlangsung kurang lebih 13 tahun lamanya, sehingga upaya service recovery sangat berat dibandingkan menangani service failure yang baru saja terjadi. Strategi restorasi yang diambil yaitu vaksinasi ulang masih dirasakan belum cukup meskipun seandainya pemerintah berhasil memvaksin kembali seluruh korban.  Perlu adanya service recovery yang komprehensif hingga ke akar masalah.

Korban atau Pelaku?

Strategi mendasar service recovery adalah apologetic atau meminta maaf kepada konsumen yang dirugikan (Hoffman & Bateson 2008). Dikarenakan kasus ini adalah kejadian yang sistemik maka sulit untuk menunjuk dengan pasti pihak yang harus bertanggungjawab. Penyelidikan diperkirakan tidak akan selesai dalam waktu dekat.

Satu RS telah meminta maaf atas service failure ini, namun ada yang menolak meminta maaf dengan argumen bahwa mereka adalah korban bukan pelaku. Di sisi lain, konsumen tidak sabar dan menuntut keadilan. Keberagaman respon ini membuat konsumen semakin bingung. Oleh karena itu, Pemerintah perlu hadir untuk menyelesaikan permasalahan komunikasi ini.

Sebagai tempat dimana konsumen menerima layanan vaksin, maka sebaiknya pihak manajemen pusat layanan kesehatan segera meminta maaf kepada konsumen dan berusaha dengan sepenuh hati untuk menangani keluhan. Dengan meminta maaf maka mereka akan dipersepsikan lebih tulus.

Jika posko Crisis Center berhasil didirikan, maka pemerintah perlu membuat standar baku layanan penanganan keluhan yang berlaku  di seluruh pusat kesehatan yang bermasalah. Perlu dipastikan tidak adanya perbedaan perlakuan konsumen di seluruh posko tersebut. Untuk menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam menanggulangi masalah ini, saluran komunikasi dengan konsumen harus dibuka seluas-luasnya. Sebagai contoh, adanya call center yang tersedia 24 jam ataupun email.

Dengan bekerjasama dengan berbagai pihak, Pemerintah harus menelusuri akar masalah dari keberadaan vaksin palsu. Pihak yang bertanggungjawab segera diungkap dan diadili. Tim reformasi distribusi vaksin dan obat-obatan perlu dibentuk. Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM perlu diperkuat. Pekerjaan rumah yang tak mudah.

Memulihkan Kepercayaan Masyarakat

Keseluruhan langkah ini harus dilaksanakan dengan serius karena menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan masyarakat di Indonesia. Hingga saat ini, rata-rata sebanyak 600 ribu konsumen Indonesia setiap tahunnya berobat ke mancanegara seperti Singapura, Malaysia, Tiongkok, Eropa, dan Amerika.

Uang yang mengalir ke mancanegara untuk keperluan wisata medis diperkirakan mencapai triliunan Rupiah per tahun (Bank Dunia 2004). Dengan semakin membengkaknya kelas menengah di Indonesia sebesar sekitar 30% populasi Indonesia atau 74 juta orang (BCG, 2013) maka konsumen akan semakin mampu untuk berobat di luar negeri.

Jangan sampai semakin banyak masyarakat yang berobat di luar negeri karena peristiwa yang patut disayangkan ini. Sejatinya, kasus ini dapat dilihat sebagai peluang bagi Pemerintah ataupun pelaku kesehatan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Mari kita doakan dan kawal langkah Pemerintah untuk Indonesia yang sehat.

_________________________________________________________________________

Harian Ekonomi Neraca 

Rabu, 20 Juli 2016

oleh Ambara Purusottama

Faculty Member S1 Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

Ambara

IMG_7512 (1)

IMG_7513

________________________________________________________________________

Artikel WARTA EKONOMI (www.wartaekonomi.co.id) , 7 JULI 2016

ade febransyah

Oleh  Ade Febransyah, Ketua Center for Innovation Opportunities & Development Prasetiya Mulya Business School

Ini Prinsip Utama Pembangunan Infrastruktur

Tepatkah proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung? Mana yang dipilih, skema off-shore atau onshore untuk Blok Masela? Atau, tepatkah Subang menjadi lokasi pengganti Pelabuhan Cilamaya? Inilah pertanyaan tipikal terhadap inisiatif penyediaan infrastruktur yang hanya butuh jawaban biner: Ya/Tidak, Tepat/Tidak Tepat, Go/No-Go, dan sebagainya. Meski keputusannya hanya biner, ternyata proses berkeputusannya tidak sembarangan; tetap harus hati-hati.

Silakan tanyakan kepada masyarakat,  perlukah proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung? Jawabannya akan beragam. Dari perspektif kekinian, bagi masyarakat yang biasa menggunakan kendaraan travel, pilihan kereta api cepat tidak terlalu menarik. Alasannya sederhana, dengan menggunakan kendaraan travel, penggunanya memiliki beberapa pilihan lokasi untuk naik atau berhenti. Sementara itu, kalau menggunakan kereta api cepat, tempat berhenti di Stasiun Tegal Luar cukup jauh bagi mereka yang tinggal di Bandung Kota. Lain cerita jika kota-kota baru yang berada di sekitar titik-titik transit sudah berkembang. Bagi mereka yang tinggal di kota-kota baru tersebut, mungkin saja pilihan kereta api cepat menjadi menarik.

Di sinilah jawaban “Tepat/Tidak Tepat” untuk kasus kereta api cepat dari perspektif pengguna. Kedua jawaban tersebut  sama-sama spekulatif, tergantung siapa yang menjawabnya. Untuk menghindari spekulasi, dari perspektif pengguna, ketepatan suatu produk atau layanan baru ditentukan oleh ketepatan jobs to be done (JTBD) pengguna yang ingin dijawab. Inilah titik awal yang harus diidentifikasi oleh penyedia layanan kereta api cepat. Karena penyedianya merupakan entitas bisnis, perusahaan patungan Indonesia dan Tiongkok, maka JTBD dari target customer-nya menjadi krusial. Pemahaman tentang JTBD ini selanjutnya akan menuntun perusahaan untuk menyiapkan proposisi nilai (Osterwalder, 2015) dari layanan kereta api cepat.

Bagi penyedia layanan kereta api cepat, JTBD yang ingin mereka jawab bisa saja berupa “bepergian sambil meningkatkan kualitas hidup”. Sekarang ini, banyak pilihan transportasi untuk bepergian ke Bandung atau Jakarta. Sebut saja, kendaraan pribadi, bus, kereta api, atau kendaraan travel. Setiap pilihan menyisakan problem. Menggunakan kendaraan pribadi mengharuskan pengendaranya bersabar menghadapi kemacetan mulai di dalam kota hingga ruas tol Jakarta-Cikampek. Pemborosan dalam penggunaan BBM, pola hidup tidak sehat karena lebih banyak duduk di mobil, menjadi problem berkendaraan sendiri. Menggunakan alat transportasi lainnya juga menyisakan banyak problem: kesehatan (terlalu lama duduk), ketidaknyamanan (berdekatan dengan penumpang lainnya dalam kendaraan travel), dan keamanan (sopir bus atau kendaraan travel yang mengantuk dan juga kondisi kendaraan yang tidak terawat). Kereta api cepat dapat menjawab problem-problem tersebut.

JTBD “bepergian sambil meningkatkan kualitas hidup” merupakan salah satu dari sekian JTBD yang bisa diangkat. JTBD lainnya bisa saja begitu langsung ke sasaran, yaitu “mengantarkan penumpang ke tujuan secara cepat dengan biaya terjangkau”. Dari sekian pilihan JTBD ini, pelaku bisnis selanjutnya harus mampu memprioritaskan JTBD mana yang akan dijawab baik lewat produk maupun layanan barunya. Pilihan JTBD ini akan mengantarkan pada target penggunanya. Pengguna yang mementingkan kualitas ketika bepergian akan berbeda dengan mereka yang menomorsatukan biaya murah.

Setelah mengetahui siapa yang menjadi target penggunanya, pelaku bisnis barulah bisa berhitung apakah bisnisnya layak dijalankan dengan besar pasar yang dapat digarap. Inilah prinsip dasar yang harus menjadi pegangan pelaku bisnis baik BUMN maupun swasta yang ingin masuk ke penyediaan infrastruktur. Model bisnis mereka harus berasal dari JTBD yang tepat untuk dijawab lewat solusi dengan proposisi nilai yang juga tepat. Dari sinilah, pelaku bisnis dapat mengamankan terjadinya profit. Inilah sejatinya tujuan bisnis apa pun dijalankan. Namun, selain JTBD dan profit, pelaku bisnis yang masuk ke bisnis infrastruktur harus mempertimbangkan prinsip-prinsip utama  dalam penyediaan infrastruktur.

Ketepatan Infrastruktur

Ketepatan inisiatif pembangunan infrastruktur dapat dinilai berdasarkan delapan prinsip utama penyediaan infrastruktur (Hastanaya, 2014), yaitu Compliance (kesesuaian dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan), Connecting (keterhubungan pusat-pusat pertumbuhan), Participatory (keterlibatan masyarakat luas), Multiplier (dampak terhadap perekonomian),Sustainability (kemanfaatan dalam jangka panjang), Human (peningkatan kesejahteraan, kualitas pendidikan dan kesehatan), Efficient (efisiensi dalam penggunaan sumber daya), danInclusiveness (kemanfaatan untuk semua).

Para pendukung perlunya proyek kereta api cepat menggunakan pendekatan ekosistem bisnis. Proyek kereta api cepat dijustifikasi dari efek berantai (prinsip multiplier) terhadap pembangunan ekonomi di sektor-sektor lainnya. Bisa saja bisnis kereta api cepat ini terganggu karena eksternalitas yang sulit dikontrol, tetapi pelakunya dapat memperoleh kompensasi keuntungan dari bisnis-bisnis di sektor lainnya. BUMN-BUMN yang terlibat di proyek kereta api cepat ini dapat  memanfaatkan berbagai peluang yang muncul di titik-titik utama yang dilintasi kereta api cepat. Pembangunan kota-kota baru, kawasan perkantoran, kawasan industri, pusat hiburan, layanan kesehatan, pendidikan, dan sebagainya adalah oportunitas untuk menciptakan nilai yang lebih besar dari proyek kereta api cepat.

Secara naratif, proyek kereta api cepat terdengar sudah lulus tes. Ya, jika hanya menggunakan prinsip multiplier. Perlu uji naratif lagi berdasarkan prinsip-prinsip utama lainnya dalam penyediaan infrastruktur. Jika memang proyek kereta api cepat ini sebagai window of opportunity pembangunan ekosistem bisnis, silakan pertimbangkan secara masak-masak hal-hal berikut. Apakah konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah dituruti? Adakah masyarakat luas yang tertinggal dalam pembangunan ekosistem bisnis ini? Bagaimana dengan keberlangsungan dari ekosistem bisnis yang dibangun? Apakah ekosistem bisnis akan memberikan kemanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat? Dan, yang paling utama, apakah terjadi pengembangan kualitas manusia dari proyek kereta api cepat dan turunannya?

Jika semua jawabannya “Ya”, lanjutkanlah dengan uji angka-angkanya (numbers test), apakah memang pantas secara bisnis? Jika sudah lulus semua tes, baik naratif maupun angka, barulah boleh mengatakan, “Infrastruktur ini memang tepat, cepat bangun!”.

_________________________________________________________________________

 

______________________________________________________________________

Artikel harian KONTAN, 13 Juni 2016

oleh Sekar Wulan Prasetya

Sekar Wulan

Dosen Food Business & Technology 

Universitas Prasetiya Mulya

IMG_6945

_________________________________________________________________________

Bertumpu Pada Tax Amnesty

Harian Ekonomi Neraca , Rabu, 9 Juni 2016

oleh Ambara Purusottama

Ambara

Dosen S1 School Of Business and Economics Universitas Prasetiya Mulya 

Lesunya perekonomian mengharuskan pemerintah kembali merancang anggaran yang telah diajukan sebelumnya. Hal ini harus dilakukan agar program pemerintah tetap dapat berjalan optimal. Padahal tahun ini pemerintah sedang giat-giatnya mendorong belanja infrastuktur demi tercapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Selain hutang, terdapat program pengampunan pajak diharapkan mampu menjadi jalan keluar pembiayaan negara di tengah rasionalisasi yang terjadi.

Kebijakan pengampunan pajak memang sudah santer terdengar. Pengampunan pajak memang menjadi salah satu yang dibidik pemerintah karena besarnya potensi yang ada. Kemenkeu menyebutkan tidak kurang dari 3.000 triliyun rupiah dana dilarikan ke luar negeri dengan iming-iming imbalan yang lebih menjanjikan dari negara surga pajak. Tujuan utama program ini sedianya untuk mendorong pemilik dana tidak hanya mendeklarasikan aset yang belum dilaporkan saja namun juga untuk memulangkan dananya kembali ke Indonesia.

Sebagai alternatif pembiayaan, program ini mempunyai potensi yang cukup besar. Kemenkeu menyebutkan kalkulasi implementasi pengampunan pajak tahap awal berpotensi menambah pundi-pundi kas negara tidak kurang dari 100 triliyun rupiah. Jumlah ini dirasa sangat mendukung kebutuhan program pemerintah. Hal ini sedianya untuk mengoff-set rasionalisasi pendapatan negara yang turun akibat gejolak harga komoditas dan penggunaan beban yang berlebih terhadap hutang luar negeri. Program ini menjadi alternatif pilihan untuk menjaga keseimbangan anggaran pemerintah.

Masalah pertama yang muncul terkait kebijakan ini adalah besaran tarif yang dikenakan. Penerapan tarif yang tidak tepat justru berpotensi menimbulkan masalah. Secara naluri pemodal akan memindahkan dananya apabila ada insentif lebih yang diberikan kepadanya. Secara matematis, jika tarif yang dikenakan semakin meningkat akan menurunkan kemungkinan repatriasi modal yang ada dan  sebaliknya. Harapannya, besarnya tarif bukan upaya untuk menghukum pemilik modal akan tetapi sebagai upaya rekonsiliasi perbedaan yang terjadi di masa lalu.

Berikutnya adalah respon negara surga pajak terkait kebijakan pengampunan pajak. Mendengar kebijakan pemerintah, terkait pengampunan pajak untuk memulangkan dananya kembali, membuat beberapa negara surga pajak pun mulai terlihat panik. Berbagai upaya dilakukan untuk tetap mengunci dana tersebut di negaranya seperti insentif tambahan dan bahkan dengan mudahnya memberikan status warga negara. Pemerintah hendaknya bersikap tegas akan hal ini selain tetap memberikan insentif sebagai daya tarik repatriasi.

Terakhir, penyerapan dana repatriasi yang akan masuk juga harus diperhatikan. Kebijakan tersebut berpotensi kebanjiran likuiditas. Pemerintah harus berupaya ekstra agar dana tersebut dapat diserap oleh pasar. Terlebih, pemerintah menginginkan dana yang ada dapat diparkir paling tidak tiga tahun. Namun minimnya pilihan instrumen investasi yang ada dan kelesuan ekonomi yang berkepanjangan justru akan menuai hambatan. Pemodal tentunya akan mempertimbangkan berbagai pilihan dalam menempatkan dananya.

_________________________________________________________________________

Artikel harian Sindo, 29 Mei 2016, kolom Smart Finance:

oleh Lukas Setia Atmaja

IMG_6664

_________________________________________________________________________

Artikel harian Kontan Rabu, 25 Mei 2016

oleh Andika Priyandana , dosen S1 Universitas Prasetiya Mulya

26829b9

IMG_6564

IMG_6565

IMG_6566

 

_________________________________________________________________

Artikel oleh Dosen S1 Bisnis Universitas Prasetiya Mulya :

Hanesman Alkhair

Koran Kontan Jumat, 15  Januari 2016

Ledakan Demografi Tiongkok dan Pariwisata

hanesman 1

 

Artikel oleh Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya : Ade Febransyah

Judul : “Memetik Keberuntungan”

di Majalah WARTA EKONOMI edisi April 2016 hal.88-89

Memetik Keberuntungan_1

Memetik Keberuntungan_2

Add comment

Translate »